Trio Gili - Antara Pemburu Matahari dan Pecandu Bawah Laut

9:06:00 PM

Jam dinding bersudut 180 saat saya terbangun. Matahari masih berselimut kala itu. Segera saya mengayuh sepeda menyusuri pulau kecil ini. Jalanan memang masih sepi, namun kilauan mentari telah terpantul diantara gemericik ombak Terawangan. Sesekali saya memergoki nelayan pulang dari melaut. Saya pun mengintip beberapa orang menenteng beberapa tabung dan snorkeling yang dipersiapkan untuk membelah lautan. 

Gili dipagi hari amat mempesona. Berjajar para kepala-kepala yang haus kilauan mentari pagi. Dipasir putih nampak beberapa kamera ditodongkan ke arah lautan lepas. Kayuhan sepeda sayapun teerhenti sejenak ketika mendapati hijaunya pepohonan berkolaborasi dengan kuningnya sinar matahari. Sesaat kemudian saya mengayuh kembali sepeda berwarna biru usang yang saya sewa seharga 20ribu untuk sehari. Belum sejam saya sudah mengitari pulau ini

Saya beranjak agak kedalam pulau, berjajar beberapa orang memainkan sendok dan garpu. Sayapun bergabung. Menu pagi ini lumayan nikmat. Nasi campur menjadi santapan mengawali hari saya. Berjubel orang waktu saya datang. Ayam, mue goreng dan bermacam sayuran menjadi pendamping nasi putih hangat. Segelas Jus alpukat yang segar juga tak kalah menghiasi meja makan saya. Setelah kenyang saya kembali ke penginapan untuk bersiap bertualang ke Gili yang lain.
Cukup seratus ribu rupiah, saya keluarkan untuk mengelilingi Gili Air , Gili Terawangan dan Gili Meno. Ditambah makan siang yang telah dipersiapkan di Gili Air. 

Tepat pukul 9 kami beranjak dari penginapan menuju dermaga. Disana sudah berbaris puluhan wisatawan baik lokal maupun mancanegera, menunggu namanya dipanggil. Kami menunggu sambil memilih alat snorkeling. Yang aneh, kita disuruh memilih antara Fin atau LifeVest. Saya mencomot LifeVest lantaran kemampuan berenang saya yang minim dan rasa panik saya yang tinggi ketika di dalam air. 

Lima menit kemudian nama kami dipanggil dan digiring menuju sebuah kapal kecil berwarna hijau tua. Dengan sigap tour guide kami yang berkulit hitam legam dengan hiasan kotak-kotak diperutnya menaikkan kami dan memberikan snorkeling mask. 

Tujuan pertama adalah Gili Meno. Saya yang semenjak tadi menggenggam underwater camera  segera menyebur ketika tour guide kami mengisyaratkan untuk segera snorkeling. Pemandangan yang indah. Karang-karangnya sangat sehat. Walaupun ikan disini tidak banyak, setidaknya karang-karang cantik bisa mengobati kekecewaan. Saya sibuk mengendalikan kamera dan membidik panorama bawah air, sambil sesekali memotret teman2 yang lainyang mahir bermain dibawah air. Kemudian dengan bantuan Ivana, sayapun beraksi dibawah air. Perlahan saya preteli life vest saya dan mencoba berenang. Beberapa kali saya panik karena belum terbiasa. Tak terasa waktu kami di Gili Meno sudah usai. Kita harus beranjak ke pulau lain.

Sepuluh menit kita membelah laut, akhirnya kita sampai di Gili Air. Disini tidak ada yang bisa dilihat. Hanya beberapa ikan dan pasir yang menutupi semua pandangan. Dan sebagian dataran juga amat dalam. Kali ini Tirto menjadi fotografer kami. Hanya sekali saya difotonya, kemudian tak tahu kemana dia pergi dengan kamera saya melingkar di lehernya. Saya sibuk mencari panorama bagus dibawah air. Tidak ada apapun yang lewat. Tour Guide menggiring teman-teman untuk mencari penyu. Karena kelelahan saya tidak ikut dan segera kembali ke kapal. 

Tiba-tiba Ivana berteriak, "Kameramu tenggelam!". Seketika jantung saya terhentak. Nafas saya pendek. Dan Tirtopun tak kunjung naik ke kapal. Saya meminta bantuan ke tour guide untuk mencarikan kameranya, setelah sepuluh menit mencari, tirto lembali dengan tangan kosong. Mata saya perih. Kamera yang menyimpan kenangan di Puncak Rinjani karam. Seisi kapal langsung hening. Tak ada yang berani bicara. Saya melihat wajah Tirto dengan penuh rasa kecewa. Dia segera menundukkan kepala waktu itu. Diapun merasa sangat bersalah. Dia yang menantang dengan lantang untuk mengambil gambar setelah dari Gili Meno tadi. 

Suasana hari saya menjadi kelam setelah kamera karam di lautan. Selang sepuluh menit kamipun sampai di pulau tempat kita makan siang. Saya memesan steak ayam. Sedang yang lain memesan nasi goreng. Suasana semakin sunyi. Saya seperti tidak nafsu makan. Sementara yang lain makan dengan lahapnya lantaran kelaparan. 

Setelah puas menyantap hidangan di Gili Air, kemudian kamipun beranjak ke spot snorkeling berikutnya. Saya tidak tahu dimana, karna memang suasana hati saya sedang kacau. 

Sayapun nyemplung ke air dengan tidak sukarela. Bagaimana tidak. Kamera yang saya beli baru 3 bulan raib begitu saja karena ulah orang lain. Mungkin kalau saya yang teledor saya tidak sesedih ini. Setelah setengah jam berlalu saya kembali ke kapal dan menuju kembali ke Gili Terawangan. Sungguh memang pengalaman yang amat tak terlupakan. Kamera yang menyimpan momen indah karam di laut yang indah pula.

Kamipun kembali pulang ke penginapan. Saya masih terpukul atas tenggelamnya kamera saya. Perlahan saya mulai mengikhlaskan dan melupakannya. Kali ini saya pergi menuju Sunset Cafe untuk sekali lagi berburu tenggelamnya bola merah.

Saya berjalan kaki kali ini. Bersama Adit Tirto dan Deny saya berjalan menapaki Gili. Saya berhenti didepan Gili Gelato. Kedai Es Krim Homemade yang rasanya luar biasa. Harga yang cukup murah, hanya 15 ribu mendapatkan eskrim nikmat, segar dan juga gratis icip-icip semua rasa eskrim. Ada blueberry, Strawberry, Mocca, hingga Espresso. 

Sambil membawa eskrim di tangan kanan saya melanjutkan perjalanan ke Sunset Cafe. Setengah jam kemudian kami sampai disana. Matahari masih belum tenggelam waktu itu. Kami melihat Bule nikah dipasir Gili Terawangan, Sungguh romatis, dibalut busana perkawinan, disinari emasnya matahari Gili, ditambah deburan ombak yang mengiringi pernikahan mereka.

Sejenak matahai sudah memerah di Barat. Saya segera mengabadikannya. Tiba-tiba Ivana datang. Saya berceletuk, "Aku tadi dapat foto Sunset bagus loh". Dia menjawab. " Oh tidak apa-apa, yang penting gue dapet foto Summit yang bagus". Seketika luka kehilangan kamera itu kembali menganga mendengar celetukan Ivana tadi. Saya berusaha ikhlas kembali, dan menikmati kembali keindahan Gili Terawangan yang makin malam makin berubah wajah.

You Might Also Like

1 komentar

  1. tentang kameranya, sabar ya bro, mungkin Tuhan punya rencana lain :)

    ReplyDelete