Rinjani 6 - Ini Bukanlah Akhir

8:00:00 AM

Setelah semalam kami singgah di danau, akhirnya perjalanan berikutnyapun dimulai. Tadi malam kami menyantap hidangan enak yakni ikan bakar yang kami peroleh dari tetangga sebelah. Tetangga sebelah kami terdiri dari ABG Lombok yang merayakan kelulusannya dengan naik Rinjani. Mereka sengaja membawa alat pancing agar bisa memperoleh ikan dengan mudah ketika di danau. Hasil pancingan mereka berlimpah ketika itu. Maka kamipun diberi beberapa ekor yang akhirnya berpindah ke perut-perut lapar kami. Sayapun yang sebenarnya tidak suka ikan akhirnya lahap ketika kelaparan sudah menghantui perut saya.


Paginya kamipun sarapan dengan menu yang sama. Sejak pagi Ivana telah merebus nasi, saya tulis merebus karena memang cara masaknya memang dirbus dengan air mendidih kemudian diaduk-aduk hingga matang. 

Selesai sarapan dengan ikan bakar tadi malam ditambah abon sapi yang kami bawa dari sembalun kamipun segera mengemasi barang-barang dan membonfkar tenda. Setelah semua rapi, kamipun melaksanakan ritual pagi yaitu berfoto bersama. Kali ini kami berfoto bersama feeders kami. 

Setelah puas berfoto akhirnya perjalanan sebenarnyapun dimulai. Kaki saya memang sudah agak membaik. Namun masih terasa nyeri pada pergelangannya. Perjalanan kami dimulai dengan menyusuri danau, kita harus menyebrangi danau dengan berlandaskan batu-batu gunung. Didepan matapun masih banyak suguhan tebing yang menjulang diantara pohon-pohon besar yang harus kami lalui demi kembali menuju peradaban. Sesaat kemudian kaki saya mulai gemetar ketika saya harus melewati sebuah jalan setapak. Bukan jalan setapak biasa, namun jalan setapak dimana kanan dan kiri tebing curam ditambah tanah yang licin. Sekali terperosok, bayangkan saja apa yang akan terjadi. 

Setelah menerjang jalan setapak tadi, ternyata masih banyak lagi medan yang menantang yang harus dihadapi. Untungnya matahari tertutupi kabut dan awan tebal alhasil panaspun tidak sampai ke tubuh kami. Medan batu berbukit harus kami lalui. Dari mulai meloncat tiarap hingga gaya merangkak harus kami lakukan untuk menghalau semua medan. 

Matahari tepat diatas kepala ketika saya harus memanjat sebuah tebing batu yang curam. Saya jadi teringat pengalaman panjat tebing saya disaat masih SMA. Waktu SMA sebelum saya ikut organisasi Pencinta Alam testnya adalah harus memanjat papan setinggi 20 meter dengan waktu tertentu. Saya yang bertubuh ceking tanpa otot ternyata berhasil melewatinya dengan mulus dan dengan waktu yang singkat. Namun karena kesibukan sayapun meninggalkan organisasi itu karena harus konsentrasi belajar.

Setelah memanjat tebing akgirnya saya sampai di Pelawangan Senaru. Saya dan Deny yang pertama datang. Saya beristirahat di rerumputan sambil mengobrol dengan pendaki yang lain. Kebetulan saya bertemu dengan rombongan BPI (Backpacker Indonesia) mereka ber 32 naik Rinjani. BPI adalah sebuah forum pencinta traveling yang memfasilitasi para traveler melalui sebuah web http://www.backpackerindonesia.com 

Mereka sering mengadakan trip- trip baik domestik maupun mancanegara. Pesertanyapun tidak hanya orang Indonesia. Tak jarang bule pun ikut nimbeung di beberapa trip. Saat kita asyik mengobrol dengan rombongan BPI, adit, selvie, riani dan pian pun datang. Dan akhirnya kami langsung melanjutkan perjalanan dengan membagi 2 kelompok. 

Di perjalanan kami bertemu beberapa foreigner yang memulai perjalanan dari Senaru. Ketika saya bercuap dengan mereka ternyata mereka hanya ingin menikmati indahnya Segara Anak dan merasakan hangatnya hot spring yang ada disana.

Saya pikir medan yang berikutnya akan sedikit landai. Namun justru turunan tajam ditambah bebatuan dan pasir yang saya hadapi. Tak jarang saya terperosok saat berusaha menuruni gundukan pasir bercampur batu.  

Mendung sudah mulai menutupi cahaya matahari saat kami sampai di Pos 3. Di pos 3 kami mengistirahatkan kaki kami sembari menyantap sisa-sisa makanan yang kami bawa. Setelah lima belas menit. Kami segera melanjutkan perjalanan. Kaki saya sudah mulai meronta ingin istirahat, terlebih sisa-sisa terkilir masih merekat di pergelangan kaki membuat rasa sakit semakin menjadi. Saya harus dibantu Deny ketika ingin bangkit dari tempat istirahat.

Kali ini medan tidak terlalu berat, karena kami berjalan memasuki hutan lebat, kanan dan kiri kami hanya rimbunan pohon besar yang saya tidak tahu apa namanya. Tiba- tiba air turun dari langit. Kami tetap tak bergeming. Kemudian air yang tadinya tetesan berubahenjadi guyuran dan akhirnya hujan deraspun membasahi kami. Kami memutuskan berhenti sejenak untuk memakai jas hujan plastik yang dibawa Shelvie. 

Setelah memakai jas hujan, kamipun segera melanjutkan perjalanan menuju Pos2 dengan hujan yang membasahi. Karena hujan, jalanan menjadi becek. Untung sepatu saya kedap air, walaupun becek kaki saya tetap kering karena sepatu.

Tak lama setelahnya airpun berhenti mengguyur. Namun tanah becek dan licin menjadi tantangan baru bagi kami. Sejam kemudian kami tiba di Pos 2.

Matahari sudah berwarna jingga waktu saya tiba di Pos 2. Ketika saya datang Deny, Adit dan Pian sedang mengambil air. Sesaat kemudian mereka datang dengan membawa beberapa botol berisi air kekuningan didalamnya. Kita tak punya pilihan lain. Karena perjalanan masih jauh dan sumber air tidak ada lagi. Akhirnya kami bersiap melanjutkan perjalanan. Karena hari sudah mulai gelap, kami pun mempersiapkan headlamp. Dan ternyata kami hanya punya 3 headlamp. Maka dari itu kita harus membagi posisi berjalan agar masih bisa mendapatkan cahaya. Deny berada didepan, diikuti Shelvie, Riani, Pian dan Adit berada di belakang. Kami berjalan menyusuri hutan di kegelapan malam. Keadaan jalan yang licin memperparah keadaan. Beberapa kali kaki saya terjerembap di kubangan lumpur.

Saya melihat jam tangan saya, waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, dan kami masih terjebak didalam hutan dan minim makanan dan minuman. Kami terus berjalan agar sampai di tempat tujuan secepatnya. Tiba-tiba Selvie menjerit kesakitan. Apa yang terjadi pada saya tempo hari terjadi pula pada Shelvie. Kami berhenti sejenak sambil menunggu Shelvie selesai dipijit. 

Setengah jam kemudian kami melanjutkan perjalanan, kemudian sampailah kami di pos Ekstra. Disini terdapat gazebo yang bisa kita duduki untuk sekedar beristirahat. Kamipun beristirahat sejenak. Suasana disana mencekam. Pohon-pohon besar seakan bersuara ketika tertiup angin. Buli kuduk saya tiba-tiba berdiri. Memang benar ada beberapa orang pendaki yang berada disana. Namun suasana mencekam terus menghinggapi saya. Tak putus mulut ini berkomat-kamit berdoa meminta keselamatan. Dan sampai akhirnya di pos itu cuma tinggal kami berenam. Shelvie sudah mulai baikan. Begitu pula Pian yang mengeluh sakit perut sejak tadipun sudah mulai bisa berjalan. Akhirnya kamipun melanjutkan perjalanan. Perjalanan kali ini lebih berat dan lebih lambat. Berkali-kali pendaki lain menyalip kami karena gerakan keong kami. Akhirnya si suatu tempat kamipun sudah mulai tidak kuat dan beristirahat. Kemudian seseorang dibalik kegelapan bertanya keadaan kami. Beliau menawarkan makanan pada kami. Karena perbekalan kami sudah habis, maka kamipun segera menerimanya dan melahapnya dengan rakus. Belakangan saya tahu nama beliau adalah Pak Aziz seorang pengajar di Jogja. PakAziz bersedia menemani kami turun gunung, karena memang beberapa dari kami sedang cidera. 

Setelah beberapa lama, kamipun sampai di Pos 1. Rencananya kita akan berkemah disitu namun seorang pendaki yang sampai ke Pintu Senaru kemudian kembali ke Pos 1 bilang bahwa jarak Pos 1 dan Pintu Senaru hanya 15 menit. Kamipun bersemangat. Namun Shelvie yang kakinya sudah mulai bengkak sudah mulai menyerah. Akhirnya saya pun meminatnya dengan salep yang saya bawa, dan mengganti sepatunya dengan sandal. Dengan dipapah Deny Shelvie pun melanjutkan perjalanan. Kami berenam ditambah pak Aziz segera bergegas menuju Pintu Senaru. 

Sudah setengah jam berlalu, namun tidak ada tanda-tanda pintu senaru maupun kerumunan orang. Tiba-tiba kami mendengar suara mesin motor menghampiri. Wakah kami mulai sumringah. Namun ternyata setelah setengah jam berlalu masih saja tanda-tanda pintu senaru tidak muncul. Ketika ada turunan tajam saya langsung saja menindihkan kaki kiri saya. Saya langsung menjerit sekerasnya ketika kaki saya terpelintir disambut tubuh saya yang roboh. Kontan saya langsung terkelepar kesakitan. Saya berhenti sejenak dan bangkit, sambil dipapah Adit.

Waktu menunjukkan pukul 11.30 Adit masih memapah saya. Karena hanya kaki kanan saya yang tidak sakit. Kondisi jalan semakin livin dan lubang tak terlihat ada di sana-sini. Sering kaki saya terjerembap  masuk ke lumpur dan terkilir lagi dan lagi. Namun saya tidak menyerah. Akhirnya suara teriakan bahagia teman-teman yang lain pecah ketika melihat kumpulan pendaki yang memegang mangkuk berasap yang ternyata adalah mie instan . Dan terlihat pula sebuah gubuk kecil dan beberapa lampu tempel dari botol yang menyinari beberapa makanan ringan yang pastinya dijual serta gelas-gelas berasap yang berisi teh. 

Sungguh haru sekali waktu itu. Kita bisa sampai di Pintu Senaru tepat pukul 12 malam. Kami memutuskan membuat tenda didepan warung. Dan segera memesan mie instant yang dicemplungi telur serta segelas  air teh panas. 

Kamipun beristirahat setelah tenda dibangun. Saya terbangun ketika suara-suara tak asing bergemuruh diluar tenda. Saya tahu itu adalah suara ke enam teman saya yang tadi masih dibelakang kami. Saya melongok di jam tangan saya, ternyata pukul setengah empat pagi. Karena badan yang teramat lelah sayapun tidur kembali tanpa sempat menyapa mereka.

You Might Also Like

1 komentar

  1. kebayang tuh bro, di gunung minim makanan.. ngeriii.. hehehe.. tapi gak kapok kan ya? :D

    ReplyDelete